Keragaman Akseptor Ajar Dalam Kecerdasan Spiritual Menurut Ciri-Cirinya

Keragaman Peserta Didik dalam Kecerdasan Spiritual Berdasarkan Ciri-Cirinya

Setiap individu yaitu unik. Demikian pula dengan penerima didik. Dalam kaitannya dengan kecerdasan spiritual, setiap penerima didik mempunyai keragaman. Masing-masing penerima didik berkembang kecerdasan spiritualnya beradarkan umurnya. Walaupun demikian, sebab sifat perkembangan yang unik, maka tingkatan dan bagaimana seorang penerima didik berkembang kecerdasan spiritualnya tentunya tetap berbeda meskipun berada pada umur atau kelas yang sama. Tahapan perkembangan spiritual setiap penerima didik berbeda-beda walaupun berada pada tingkat atau tahap yang sama.


Kecerdasan spiritual yaitu suatu jenis kecerdasan yang menjadi sumber budi dan kesadaran akan nilai dan makna hidup. Adanya kecerdasan spiritual pada setiap penerima didik juga akan memungkinkan mereka secara kreatif menemukan dan menyebarkan nilai-nilai serta makna gres dalam kehidupannya sebagai seorang individu. Kecerdasan spiritual akan memperlihatkan kemampuan bagi setiap penerima didik untuk mempunyai sebuah kesadaran bahwa setiap insan sebagaimana dirinya juga mempunyai kebebasan dalam menyebarkan diri secara bertanggungjawab dan bisa mempunyai wawasan mengenai kehidupan serta memungkinkan membuat secara kreatif karya-karya baru. Kecerdasan spiritual yaitu wujud huruf spiritual, kualitas atau sifat dasar dan upaya yang dimiliki seseorang untuk berafiliasi atau bersatu dengan tuhan.

Membicarakan kecerdasan spiritual tak bisa tidak seringkali akan berkaitan dengan bagaimana pendidikan keagamaan (pendidikan agama) kepada penerima didik di sekolah. Zakiah Darajat menyatakan bahwa agama sebagai dari iman, pikiran yang diserapkan oleh pikiran, perasaan, dilaksanakan dalam tindakan, perbuatan, perkataan dan sikap. Agama merupakan pengarah dan penentu sikap dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Awalnya belum dewasa mempelajari agama berdasarkan pola baik di rumah maupun di sekolah. Pendidikan agama di sekolah mencakup dua aspek, yaitu : 1. Aspek pembentukan kepribadian (yang ditujukan kepada jiwa), 2. Pengajaran agama (ditujukan kepada pikiran). Metode yang dipakai dalam pembelajaran harus berkaitan erat dengan dimensi perkembangan motorik, bahasa, sosial, emosional maupun intelegensi siswa. Untuk kelas rendah sanggup memakai metode bercerita, bermain, karyawisata, demonstrasi atau donasi tugas. Untuk kelas tinggi sanggup memakai metode ceramah, bercerita, diskusi, tanya jawab, donasi kiprah atau metode lainnya yang sesuai dengan perkembangan siswa.



Guru sanggup membantu perkembangan kecerdasan penerima didik dengan menyebarkan rasa ketuhanan yang tentunya telah mereka miliki. bermacam-macam cara mirip berikut ini sanggup membantu penerima didik untuk berkembang kecerdasan spiritualnya:
  • mengajak penerima didik untuk senantiasa berdoa sebelum dan sesuadah melaksanakan sesuatu (misalnya mulai dan mengakhiri belajar) sebab hal ini sanggup memupuk kekerabatan sadar antara anak dengan tuhan.
  • mengajak belum dewasa untuk berdiskusi perihal bagaimanakah bergotong-royong tuhan terlibat dengan segala kegiatan mereka sehari-hari.
  • memberikan kesadaran kepada penerima didik bahwa tuhan akan senantiasa membimbing mereka jikalau mereka senantiasa berdoa dan meminta.
  • meminta anak atau penerima didik untuk merenungi bahwa tuhan selalu ada dan memperhatikan mereka, bahkan tuhan bergotong-royong sangatlah akrab dengan mereka.
Peserta didik tentunya sangat memerlukan bimbingan dari guru sehingga keimanan mereka semakin kuat. Karena itulah pelajaran pendidikan agama diberikan di sekolah-sekolah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.

Teori Perkembangan Kecerdasan Spiritual James W. Fowler

Teori yang diajukan oleh James W. Fowler mengusulkan adanya tahap-tahap perkembangan spiritual dan keyakinan seseorang. James W Fowler telah mengusulkan adanya (6) enam tahap perkembangan spiritual. Akan tetapi uniknya, keenam tahapan ini dimulai lebih dulu dengan tahap 0 (jadi boleh juga barangkali kita menyebutkan kalau bergotong-royong ada 7 tahap perkembangan spritual berdasarkan James W. Fowler ini), yaitu :

1. Tahap 0 atau Tahap "Primal or Undifferentiated" faith

Tahap primal faith atau undifferentiated faith ini terjadi pada usia 0-2 tahun. Pada tahapan ini tampak anak atau bayi mempunyai rasa percaya dan setia anak pada orang yang mengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman kekerabatan mutual (hubungan yang saling menguntungkan). Hubungan ini sanggup berbentuk kekerabatan saling memberi dan mendapatkan yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak  dan orang yang mengasuhnya.

2. Tahap 1 atau Tahap Intuitive-Projective Faith

Tahap perkembangan kecerdasan spiritual yang disebut dengan intuitive-projective berlangsung antara usia 2-7 tahun. Selama berada dalam tahap perkembangan kecerdasan spiritual ini kepercayaan anak lebih bersifat sebagai peniruan, sebab kepercayaan yang dimiliki oleh belum dewasa masih merupakan campuran dari buah pengajaran dan contoh-contoh signifikan dari orang-orang sampaumur yang ada di sekitar mereka, kemudian selanjutnya anak sanggup berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan serta kemudian mengarahkan perhatian impulsif serta citra intuitif  dan proyektifnya pada tuhan.

3. Tahap 2 atau Tahap Mythic-Literal Faith

Tahap perkembangan kecerdasan spiritual yang disebut James W Fowler sebagai tahap mythic-literal faith ini akan dimulai dari usia 7-11 tahun. Pada tahap mythic-literal faith ini, sesuai dengan tahap perkembangan kongnitifnya, anak atau penerima didik akan secara sistematis mulai mengambil makna-makna yang dilihatnya dari tradisi masyarakat di sekitarnya. Gambaran perihal tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, keras dan jikalau perlu tegas.

4. Tahap 3 atau Tahap Synthetic-Conventional Faith

Tahapan ketiga disebut Fowler sebagai tahap synthetic-conventional faith. Tahapan ketiga ini menurutnya akan mulai terjadi pada usia 12 hingga tercapai final masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran perihal simbolisme dan mempunyai lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja (peserta didik pada usia ini) akan mencerminkan pola kepercayaan sebagaimana yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal (tingkatan  kecerdasan kognitifnya dikala itu), sehingga seringkali mengakibatkan remaja melaksanakan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh forum keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap ini, penerima didik juga akan mulai memperoleh pengalaman bersatu dengan yang transenden melalui symbol dan upacara keagamaan yang dianggap sakral. Tuhan dipandang sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, tuhan dipandangnya sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat. Selanjutnya muncul pengukuhan bahwa tuhan lebih akrab dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan pengukuhan rasa akad dalam diri remaja (peserta didik) terhadap sang pencipta.

5. Tahap 4 atau Tahap Individuative- Reflective Faith

Tahapan yang keempat yang disebut James w. Fowler sebagai tahap individuative-reflective faith akan mulai terjadi pada usia 19 tahun atau pada masa sampaumur awal. Pada tahapan individuative-reflective faith akan mulai muncul pembentukan kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaannya itu. Pengalaman probadi pada tahap individuative-reflective faith memainkan peranan penting dalam kepercayaan penerima didik. Menurut Fowler tahap ini ditandai dengan adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu, mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam menentukan antara prioritas dan akad yang akan membantunya membentuk identitas diri.

6. Tahap 5 atau Tahap Conjunctive Faith (Paradoxial-Consolidation Faith)

Tahapan kelima disebut Fowler sebagai tahap conjunctive faith atau paradox atau transenden. Tahapan ini terjadi pada usia 30 tahun hingga masa sampaumur akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan symbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap tahap conjunctive faith atau paradox atau transenden ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.

7. Tahap 6 atau Tahap Universalizing Faith

Tahap universalizing faith, akan berkembang pada usia lanjut seseorang. Perkembangan kecerdasan spiritual pada masa ini ditandai dengan munculnya sisitem kepercayaan transsendental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentransasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamanya berada dalam pandangan suatu paradoks, sebaliknya, pada tahap ini seseorang akan mulai berusaha mencari kebenaran yang sifatnya universal. Dalam proses pencarian kebenaran semacam ini, seseorang akan mendapatkan banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling luas.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Keragaman Akseptor Ajar Dalam Kecerdasan Spiritual Menurut Ciri-Cirinya"

Posting Komentar